Selasa, 02 Maret 2010

cinta tanah air

I. Latar Belakang
Krisis moneter yang disertai krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang berlangsung sejak pertengahan 1997, membawa implikasi ganda, baik yang bersifat positif maupun negatif, bagi masa depan politik Indonesia. Aspek positif dari krisis tersebut adalah timbulnya gelombang tuntutan reformasi total, khususnya di bidang politik, ekonomi dan hukum. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah memberikan kesempatan emas bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih sehat, adil, dan demokratis. Meski di tengah euforia politik saat ini masih terdapat gejolak politik di antara mereka yang pro pemerintah dan yang anti pemerintah, diharapkan transisi menuju demokrasi ini akan dapat dilalui secara damai seperti yang dicita-citakan sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tampaknya tidak menginginkan terulangnya kembali lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke demokrasi, anarki politik dan kembali ke tirani lagi, seperti yang terjadi pada proses pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
Dari sisi negatif, di tengah euforia politik tersebut muncul kembali aspirasi sebagian masyarakat di beberapa propinsi di Indonesia seperti di Irian Jaya, Aceh, Timor Timur, dan Riau yang menghendaki kemerdekaan, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kejatuhan rezim Soeharto yang otoriter, represif, dan cenderung menafikan aspirasi lokal, tampaknya dipandang sebagai momentum oleh sebagian masyarakat di daerah-daerah tersebut untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka yang diabaikan selama sekitar 30 tahun Orde Baru. Dalam perkembangan terakhir, pemberian kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk memilih dua opsi yang ditawarkan Presiden Habibie, yakni status khusus dengan otonomi luas atau lepas dari RI, menjadi momentum baru untuk sebagian masyarakat di tiga daerah lainnya untuk menuntut perlakuan yang sama.
Kalau ditelusuri ke belakang, potensi disintegrasi politik di Irian Jaya, Aceh, dan Timor Timur memang memiliki akar yang amat mendalam. Di Irian Jaya, misalnya, keinginan sebagian masyarakat Irian untuk lepas dari Indonesia memiliki sejarah yang panjang, bahkan sebelum propinsi tersebut resmi menjadi bagian dari Indonesia pada 1 Maret 1963. Meski gerakan-gerakan separatisme, atau nasionalisme Papua, bersifat sangat sporadis dan kadang-kadang tidak ada hubungan satu sama lain, semua gerakan tersebut cenderung menggunakan nama gerakan yang sama, yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sementara itu di propinsi paling barat Indonesia, Daerah Istimewa Aceh, sejarah perlawanan rakyat terhadap pemerintah pusat jauh lebih lama lagi, yakni sejak masa kolonial Belanda. Pada intinya, rakyat Aceh memiliki suatu harga diri yang tinggi dan ingin membangun suatu negara berdasarkan Islam. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, masyarakat Aceh termasuk yang pertama mendukung kemerdekaan nasional melalui simbolisme pemberian pesawat Dakota (DC 3) kepada pemerintah republik yang berpusat di Yogyakarta. Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap para pemimpin lokal Aceh, menyebabkan timbulnya pemberontakan Daud Beureuh. Pemberontakan tersebut berhenti setelah Pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi perlawanan sebagian masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta, seperti yang dilakukan oleh Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka.
Gerakan perlawanan rakyat Timor Timur terhadap pemerintah memiliki sejarah yang berbeda dengan kedua propinsi yang disebut terdahulu. Timor Timur bukanlah bagian dari wilayah bekas Hindia Belanda, sehingga secara historis daerah itu tidak pernah pula menjadi bagian dari Republik Indonesia yang diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945. Sejarah “integrasi”, atau tepatnya aneksasi, Timor Timur ke dalam wilayah RI yang penuh dengan pertumpahan darah telah menimbulkan trauma politik yang amat mendalam di hati sanubari sebagian masyarakat Timor Timur terhadap Indonesia dan menjadi salah satu alasan bagi mereka untuk lepas dari Indonesia. Belum adanya pengakuan internasional (PBB) atas “integrasi” Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, menambah harapan bangsa Maubere untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang merdeka.
Apa yang terjadi di Riau sangat berbeda dengan di ketiga propinsi tersebut diatas. Riau termasuk propinsi pinggiran yang kaya di Indonesia seperti halnya Aceh dan Irian Jaya. Namun demikian, masyarakat Riau relatif tidak memiliki kesadaran etnik yang kuat dan kurang memiliki keberanian untuk melakukan gerakan pemisahan diri dibandingkan dengan tiga daerah lainnya. Walaupun demikian, kasus Riau tetap dipilih sebagai salah satu kasus dalam kajian potensi disintegrasi nasional dalam rangka menguji, apakah teori gerakan pemisahan diri yang selama ini berlaku, masih valid. Di samping itu, kasus Riau juga bermanfaat untuk mengetahui, apakah masyarakat Riau sungguh-sungguh ingin merdeka dan memisahkan diri dari RI, atau sekedar “unjuk rasa” dalam rangka memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat di Jakarta.
II. Permasalahan
Masalah disintegrasi politik akhir-akhir ini menjadi perhatian sekaligus sumber kekhawatiran yang luas, baik di kalangan masyarakat, intelektual, maupun kalangan pemerintah. Kekhawatiran itu tidak hanya bersumber dari tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat di tiga daerah diatas, tetapi juga lantaran maraknya kerusuhan sosial di beberapa kota besar dan kecil selama dua tahun terakhir. Di beberapa daerah seperti di Jakarta (Ketapang), Kupang (NTT), Ambon dan Maluku pada umumnya, serta Sambas di Kalimantan Barat, kerusuhan sosial berkembang menjadi pertentangan yang berbau sentimen SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Ratusan orang tewas secara sia-sia dan tak terhitung harta benda yang dirusak, terbakar ataupun dibakar. Sementara itu di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie, rakyat setempat secara terbuka melawan aparat negara bersenjata lengkap yang selama masa berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) dianggap bertanggung-jawab membunuhi keluarga mereka secara biadab dan di luar batas-batas kemanusiaan.
Secara umum diakui bahwa gerakan pemisahan diri cenderung terjadi di daerah-daerah pinggiran (periphery) yang jauh dari pusat pemerintahan (centre), kaya akan sumber alam, dan memiliki perasaan etnik yang kuat serta berbeda dengan elite politik yang memerintah. Namun demikian di dalam suatu negara yang tengah bergolak dan mengalami transisi demokratis seperti Indonesia, potensi disintegrasi bisa bersumber dari berbagai faktor atau variabel lain yang tidak terduga. Struktur politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis, dan monopolistik, bisa jadi merupakan faktor yang memperbesar potensi disintegrasi tersebut. Tak mengherankan apabila kebijakan ekonomi daerah dalam rangka distribusi kekuasaan maupun sumber daya daerah dilihat sebagai alternatif pemecahan yang bisa mengurangi ancaman disintegrasi.
Kajian potensi disintegrasi nasional di Indonesia dengan studi kasus di empat wilayah tersebut sangat penting untuk dilakukan. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara-negara kecil yang merdeka jika tidak ada upaya serius untuk mengatasinya. Upaya untuk mencegah disintegrasi nasional secara intens juga dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, baik melalui penciptaan lagu-lagu yang membangkitkan heroisme dan nasionalisme seperti yang dilakukan Ully Sigar Rusadi, gagasan untuk membuka diri bagi federalisme di Indonesia seperti dicanangkan Partai Amanat Nasional (PAN), maupun melalui perubahan atas Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta modifikasi Undang-Undang Bagi Hasil antara pusat dan daerah seperti yang dituntut oleh beberapa kalangan di daerah.

A. Rumusan Masalah
Dalam kaitan tersebut masalah yang ingin dikaji dalam studi ini mengacu kepada beberapa pertanyaan pokok. Pertama, seberapa besar sebenarnya potensi disintegrasi nasional di Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Timor Timur? Bagaimana akar sejarah perlawanan masyarakat di keempat wilayah tersebut terhadap pemerintah pusat? Kedua, faktor-faktor apa sebenarnya yang melatarbelakangi semakin kuatnya gerakan pemisahan diri di berbagai wilayah di Indonesia, terutama Aceh, Irian Jaya, Riau, dan Timor Timur? Apakah faktor historis, politis, ekonomis, sosial budaya atau hankam? Ketiga, apakah masyarakat di wilayah-wilayah itu, kecuali Timor Timur yang persoalannya memang spesifik, benar-benar ingin merdeka dan lepas dari Indonesia atau hanya ingin mendapatkan perlakuan yang adil di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya? Dan keempat, apa yang diharapkan masyarakat setempat dari pemerintah pusat jika mereka menginginkan daerahnya tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.
III. Pembahasan
A. Integrasi : Perspektif Teoritis
Konsep integrasi biasanya menunjuk pada upaya penyatuan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda secara sosial, budaya, maupun politik ke dalam satu kesatuan wilayah untuk membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional. Dalam hal ini integrasi dipandang sebagai usaha meniadakan kesetiaan-kesetiaan picik dan ikatan-ikatan sempit dalam rangka membangun kesetiaan dan ikatan yang lebih luas ke arah pembentukan identitas sosio-kultural dan politik yang bersifat nasional. Selain itu, istilah integrasi sering juga dipergunakan untuk menunjuk pada upaya membangun suatu otoritas atau kewenangan nasional; penyatuan pemerintah dengan yang diperintah; konsensus tentang nilai-nilai kolektif; dan soal kesadaran setiap anggota masyarakat untuk memperkokoh ikatan di antara mereka.
Menurut James J. Coleman dan Carl G. Rosberg, ada dua dimensi utama konsep integrasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal sering disebut sebagai integrasi politik yang mencakup masalah yang timbul dalam hubungan negara dengan masyarakat. Sedangkan integrasi horizontal lebih bersifat kultural dan karena itu mencakup persoalan ketegangan hubungan diantara berbagai kelompok kultural di dalam masyarakat itu sendiri.
Namun demikian, Myron Weiner tidak sepenuhnya setuju pada pembedaan secara tajam antara integrasi vertikal di satu pihak dan integrasi horizontal di lain pihak. Ia justru memandang penting semua aspek integrasi yang mencakup 5 (lima) persoalan sekaligus, yaitu integrasi bangsa, integrasi wilayah, integrasi elite massa, integrasi nilai, dan perilaku integratif.
Kelima aspek integrasi inilah yang disebut oleh Weiner sebagai integrasi politik. Dengan pemahaman demikian, Weiner tampaknya memandang bahwa integrasi politik tidak akan pernah bisa dicapai apabila salah satu dari kelima aspek integrasi tersebut diabaikan.
Sementara itu menurut Howard Wriggins, terdapat sekurang-kurangnya lima faktor yang menentukan berhasilnya integrasi bangsa. Faktor-faktor itu adalah: (1) upaya penciptaan musuh bersama dari luar; (2) gaya politik para pemimpin yang memperkecil perbedaan, dan pemberian penghargaan serta rasa hormat terhadap semua suku bangsa yang berbeda-beda; (3) lembaga-lembaga politik, partai politik, dan birokrasi nasional, termasuk militer, yang aspiratif, luwes dan akomodatif terhadap perbedaan dan keanekaragaman daerah; (4) ideologi nasional yang menentukan tujuan dan cara-cara pencapaiannya; dan (5) pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada perluasan kesempatan bagi semua orang secara adil.
Dalam konteks Indonesia, integrasi politik itu lazim disebut sebagai integrasi nasional, yang cakupan dimensinya bukan saja integrasi bangsa dan integrasi wilayah (teritorial), melainkan juga integrasi penguasa (elite) dengan rakyat yang dikuasai (massa). Dengan menggunakan perspektif Coleman dan Rosberg, William Liddle melihat persoalan integrasi nasional di Indonesia berkaitan dengan dua masalah utama yang berpeluang menjadi potensi disintegrasi, yaitu : pertama, adanya pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan geografi. Kedua, pembelahan yang bersifat vertikal yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pandangan antara elite yang berorientasi perkotaan dan massa yang masih berorientasi pedesaan serta tradisional.
Sementara itu dari perspektif historis, para ahli menunjuk berbagai faktor penyebab yang cenderung berbeda dalam melihat berbagai kasus yang dianggap mengancam disintegrasi nasional di Indonesia. Studi Nawawi yang memusatkan diri pada konflik regional memandang bahwa faktor kesukuan dan stagnasi yang diperdalam oleh dampak kekuasaan kolonial merupakan akar regionalisme dalam kasus Republik Maluku Selatan (RMS), Sulawesi Selatan (Darul Islam), dan Aceh (Darul Islam). Herbert Feith melihat kurangnya konsensus tentang tujuan dan gagasan sosial dari dua budaya politik utama “aristokrasi Jawa” dan “wiraswasta Islam” sebagai faktor penyebab rendahnya tingkat integrasi. Sementara Hans Schmitt berpendapat bahwa sumber konflik politik yang terjadi pada tahun 1950-an terletak pada perbedaan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa.
Persoalannya, apakah perspektif teoritis para ahli tersebut masih relevan dalam melihat potensi disintegrasi negara Orde Baru dan pasca Orde Baru yang ditinggalkan mantan Presiden Soeharto?
B. Orde Baru dan “Bom Waktu” Disintegrasi
Pada mulanya salah satu agenda utama pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun berkuasa adalah menciptakan integrasi nasional yang kokoh. Obsesi ganda pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan stabilitas politik di pihak lain, tak lain adalah dalam rangka pencapaian integrasi nasional tersebut. pembentukan birokrasi nasional yang kuat, integrasi berbagai elemen militer, termasuk kepolisian, dalam satu komando, restrukturisasi sistem kepartaian, penegakan suatu sistem hukum nasional, adalah beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka integrasi.
Akan tetapi persoalannya kemudian, dalam praktek semua upaya itu, termasuk hampir semua kebijakan ekonomi maupun politik pendukungnya, cenderung dilakukan dalam rangka memperkokoh integrasi kekuasaan elite penguasa ketimbang suatu integrasi nasional yang memperkokoh semua unsur negara Orde Baru. Stabilitas politik cenderung mengarah kepada stabilitas kekuasaan saja tanpa stabilitas pemerintahan, sementara pertumbuhan ekonomi cenderung hanya dinikmati secara amat berlebihan oleh kelas penguasa, termasuk elite birokrasi dan para penguasa kroni yang diuntungkan oleh pemihakan kebijakan negara.
Kebijakan yang seragam dan sentralistik bagi bangsa yang amat beragam, menjadi begitu parah ketika digabungkan dengan pendekatan keamanan yang amat represif, menindas, dan menafikan aspirasi masyarakat, terutama di tingkat lokal. Partisipasi dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik hampir tidak ada karena negara Orde baru menerapkan strategi ganda korporatisme negara di satu pihak dan depolitisasi massa di pihak lain. Sementara itu, di sisi lain, eksploitasi atas sumber daya ekonomi dan kekayaan daerah berlangsung intens tanpa diimbangi dengan pemberian hak atas bagi hasil yang lebih adil serta proporsional bagi daerah.
Oleh karena itu potensi konflik dan disintegrasi berakar pula pada kecenderungan elite politik di hampir semua tingkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik, terutama elite birokrasi negara (sipil maupun militer), memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai “kepentingan nasional” serta menyalahgunakan otoritas negara untuk melindungi dan mempertahankan vested interest semacam itu. Fenomena manipulasi itulah tampaknya yang lebih relevan dalam melihat berbagai kasus empirik yang berkaitan dengan soal integrasi dalam periode Orde Baru dan pasca Orde Baru dewasa ini. Karena itu pula, disintegrasi bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia jika para elite politik terus menerus melakukan manipulasi atas aspirasi, isu, dan realitas kultural masyarakat, terutama di tingkat lokal.
Kasus-kasus kerusuhan Ambon (yang merupakan “kelanjutan” dari kerusuhan Ketapang dan Kupang), penindasan negara atas masyarakat di Aceh dan Timor Timur walaupun dalam beberapa soal bisa dikecualikan, mencerminkan dengan jelas bahwa masalah integrasi yang tengah dihadapi Indonesia tidak semata-mata integrasi yang bersifat vertikal, melainkan juga integrasi horizontal. Akibat manipulasi terus-menerus yang dilakukan oleh negara, kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkembang menjadi kerusuhan berbau rasial (anti Cina). Di Ambon dan Maluku pada umumnya, konflik dipertajam oleh isu yang lebih sensitif lagi, yaitu agama Islam dan agama Kristen yang tumpang tindih dengan soal kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk asli dan para pendatang. Sementara di Sambas, Kalimantan Barat, konflik etnis Madura dengan Melayu serta Dayak tumpang tindih dengan soal kesenjangan sosial ekonomi diantara kedua kelompok etnik tersebut.
Pembelahan masyarakat secara kultural adalah realitas obyektif bangsa Indonesia yang tidak mungkin ditiadakan. Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-sekat primordial itulah yang selalu diupayakan selama sekitar 30 tahun Orde Baru melalui berbagai kebijakan yang sangat sentralistik, seragam, dan memarjinalkan kontribusi faktor lokal. Oleh karena itu, integrasi dan stabilitas yang dicapai oleh rezim Orde Baru sesungguhnya adalah integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme. Akibatnya, ketika negara tak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan otoritarianisme politik, maka harmoni dan integrasi semu Orde Baru secara berangsur-angsur runtuh pula.
C. Demokrasi, Desentralisasi, dan Integrasi
Dilihat dari perspektif teoritis yang diajukan Weiner, Indonesia pasca Orde Baru tampaknya menghadapi dilema integrasi yang amat kompleks, yang mencakup hampir semua aspek integrasi : integrasi bangsa, integrasi elite massa, integrasi nilai, integrasi wilayah, dan perilaku integratif. Ironisnya, berbagai upaya dalam bentuk kebijakan politik maupun ekonomi yang diterapkan oleh Orde Baru, justru makin memperbesar potensi disintegrasi ketimbang memperkokohnya. Faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah praktek politik otoritarianisme yang lebih berorientasi pada integrasi kekuasaan diantara elite penguasa ketimbang integrasi nasional dalam pengertian yang sesungguhnya.
Sementara itu dilihat dari perspektif teoritis Wriggins, Orde Baru gagal memperkokoh integrasi bangsa karena cenderung melakukan manipulasi atas hampir semua faktor integratif. Selama lebih dari 30 tahun rezim Soeharto menciptakan hantu komunisme, ekstrem kiri, dan ekstrem kanan, yang tidak pernah sungguh-sungguh terbukti secara empirik karena diciptakan untuk membenarkan represi atas masyarakat. Dalam gaya kepemimpinan, hampir semua elite politik di semua tingkat dalam struktur politik Orde Baru cenderung melakukan pembodohan atas masyarakat ketimbang mengakomodasi aspirasi dan kepentingan mereka. Begitu pula, lembaga-lembaga politik seperti DPR dan partai politik dikontrol dan diintervensi oleh negara, sehingga tidak ada peluang bagi munculnya aspirasi alternatif dan berbeda dari mainstream kekuasaan. Sementara itu ideologi negara Pancasila yang mestinya bisa menjadi faktor dinamik bagi perubahan, tidak hanya dimonopoli penafsirannya oleh negara melalui misalnya indoktrinasi dalam bentuk P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila), melainkan juga cenderung dijadikan alat pembenaran bagi setiap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elite penguasa di satu pihak, serta juga untuk memisahkan “kawan” dan “lawan” politik bagi pihak lain. Masih dari perspektif Wriggins, betapa pun pertumbuhan ekonomi Orde Baru relatif tinggi selama tiga dekade (rata-rata 6 – 7 persen pertahun), tetapi tidak ada peluang, kesempatan, dan akses yang sama, adil, dan proporsional bagi semua pihak untuk menikmati pertumbuhan itu. Daerah-daerah yang memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Orde Baru seperti Aceh, Irian Jaya, dan Riau, justru terlantar secara ekonomi.
Oleh karena itu dalam rangka memperkokoh integrasi nasional, kajian ini mengambil posisi bahwa penegakan sistem demokrasi merupakan jalan keluar bagi Indonesia pasca Orde Baru dalam upaya mempertahankan keberadaannya. Demokrasi yang dimaksudkan itu tidak hanya sekedar dalam pengertian perluasan partisipasi rakyat dalam proses politik, melainkan juga distribusi kekuasaan dan kekayaan secara adil serta proporsional bagi daerah-daerah. Dengan kata lain, desentralisasi politik dan ekonomi merupakan jalan keluar yang penting untuk mempertahankan keutuhan negara bangsa Indonesia yang amat beragam secara sosial, kultural, dan politik.
Persoalannya, secara konseptual, arah desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah di Indonesia cenderung tidak jelas. Dalam kebijakan tentang otonomi daerah seperti dianut UU No. 5 tahun 1974 misalnya, tidak begitu jelas, apakah pemerintah hendak mengimplementasikan desentralisasi politik (political decentralization) ataukah desentralisasi administratif (administrative decentralization). Di sisi lain, betapa pun di daerah ada DPRD I dan II, lembaga perwakilan tersebut justru menjadi bagian dari pemerintah daerah itu sendiri. Padahal, secara teoritis, pemerintah daerah dengan lembaga perwakilan (local representative government) dan pemerintah daerah tanpa lembaga perwakilan (local non representative government), adalah dua kategori yang berbeda dengan implikasi politik dan administratif yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu pula, model otonomi daerah yang dianut UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya sangat kabur, dan tidak seluruhnya mengikuti model local self government yang diterapkan negara-negara Anglo Saxon yakni suatu pemerintahan daerah berfungsi majemuk dengan lembaga perwakilan.
Urgensi perluasan otonomi bagi daerah-daerah dalam rangka distribusi kekuasaan dan kekayaan di satu pihak, dan dalam upaya memperkokoh integrasi nasional di lain pihak, terlihat jelas di sini. Kecenderungan elite politik Jakarta maupun pemerintah pusat untuk terus mengeksploitasi sumber daya ekonomi daerah tanpa mempertimbangkan aspirasi politik masyarakat daerah secara adil, tampaknya harus segera diakhiri. Tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat di daerah-daerah, yang menjadi fokus kajian ini cenderung akan terus berlangsung selama tidak ada upaya serius untuk mengakomodasi aspirasi mereka melalui pemberian hak otonomi bagi daerah. Ironisnya, kendati sejak 1974 pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dalam praktiknya hampir tidak ada kewenangan bagi daerah untuk ikut menata masa depan daerah mereka secara otonom tanpa intervensi pusat. Selama 25 tahun UU No. 5 tahun 1974 “tidur” dan ditidurkan oleh rezim Soeharto sementara eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi daerah berlangsung terus.
Di sisi lain, UU No. 5 tahun 1974 itu sendiri secara substantif tidak memberikan peluang kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Malah UU tersebut menciptakan ketergantungan permanen dan hampir mutlak pemerintah daerah, khususnya Dati II, kepada pemerintah pusat. Hal itu tidak hanya tercermin dari introduksi prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggung-jawab” di dalam UU tersebut, melainkan juga pada hampir semua materi tentang hubungan pusat dan daerah di dalamnya. Kecenderungan ke arah sentralisasi kekuasaan maupun eksploitasi sumber daya ekonomi daerah tampak jelas dari lemahnya kedudukan pemerintah daerah tingkat II dan DPRD II dalam berhadapan, baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diatasnya (propinsi). Persoalannya, hampir semua kewenangan penting yang berhubungan dengan masa depan daerah tetap ditentukan oleh pemerintah pusat melalui asas dekonsentrasi. Penentuan kepala daerah pun, walaupun dipilih oleh DPRD, tetap berada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Begitu pula pertanggung-jawaban kepala daerah, tidak diberikan kepada DPRD, melainkan kepada Presiden melalui Mendagri. Sentralisasi yang dibungkus dengan asas dekonsentrasi terlihat dl hampir semua sektor kehidupan, mulai dari keuangan, perpajakan, perijinan, kepegawaian, dan seterusnya. Di tingkat kebijakan, semuanya disiapkan oleh pemerintah pusat secara seragam tanpa memperhitungkan kebutuhan dan perbedaan karakteristik, kultur, dan sejarah dari setiap daerah. Meminjam ungkapan J.D. Legge, kebijakan rezim Soeharto tentang otonomi daerah tampaknya masih diwarnai oleh colonial flavour.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru, No. 22 tahun 1999, dan telah disepakati oleh DPR dan Presiden Habibie memang menjanjikan hak atas otonomi daerah yang dirampas selama tiga dekade oleh pemerintahan Orde Baru. Begitu pula Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, menjanjikan proporsi bagi hasil yang lebih adil bagi daerah-daerah yang lebih kaya akan sumber daya alam. Namun barangkali, terlalu dini untuk percaya bahwa pemerintahan baru hasil pemilu bisa memberikan otonomi dan bagi hasil kekayaan daerah tanpa perubahan atau perbaikan atas kedua UU yang baru disahkan itu. Persoalannya, di dalam UU itu masih ada sejumlah pasal karet yang membuka peluang bagi pemerintah pusat untuk “berkelit” dan mengingkari janjinya atas daerah. Karena itu, sejauh mana kedua UU itu bisa memenuhi ketidakpuasan rakyat daerah atas ketidakadilan yang mereka alami saat ini tampaknya sangat ditentukan oleh kepekaan pemerintah baru hasil pemilu terhadap aspirasi masyarakat daerah.

IV. Kesimpulan
Persoalan Aceh dilatari oleh banyak faktor yang saling tumpang tindih. Betapa pun masyarakat daerah ini memiliki tradisi resistensi yang sangat kuat, namun Aceh merupakan pembela republik terdepan yang tidak ada bandingannya. Tampaknya, kontribusi besar itu yang diabaikan oleh pemerintah pusat. Jakarta merasa cukup hanya dengan memberikan status “istimewa” bagi daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah tersebut sebagai “imbalan” atas jasa masyarakat Aceh. Namun ironisnya, dalam praktek, “keistimewaan” Aceh hanya tertuang di atas kertas, karena pemerintah pusat pada akhirnya melakukan penyeragaman, termasuk bagi Aceh. Sementara itu dalam bidang ekonomi, kekecewaan rakyat Aceh makin mendalam lantaran kekayaan alam Aceh berupa gas alam dan minyak bumi tidak pernah dinikmati secara adil dan proporsional oleh masyarakat Aceh.
Irian Jaya adalah propinsi Indonesia yang paling bungsu, karena baru menjadi bagian dari Indonesia secara penuh pada 1963. Daerah yang kaya akan emas, nikel, dan tembaga ini sebenarnya bergolak sejak pertengahan 1960-an, tak lama setelah Irian Barat (waktu itu) kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Latar belakang tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat Irian Jaya tampaknya berkisar pada soal distribusi hasil eksploitasi atas kekayaan alam mereka yang dirasakan tidak adil dan proporsional. Pendekatan keamanan yang represif, seperti juga yang dilakukan atas rakyat Aceh, merupakan faktor lain mengapa soal integrasi rakyat Irian tak kunjung bisa diselesaikan. Lebih jauh lagi, bagian ini akan memetakan berbagai faktor separatisme yang kurang diakomodasi pemerintah pusat dalam penyelesaian tuntutan masyarakat di Irian Jaya.
Sedangkan fenomena Riau sebenarnya gejala yang relatif baru. Riau yang kaya akan minyak bumi relatif tidak memiliki akar perlawanan yang kuat seperti halnya Aceh dan Irian Jaya. Kendati demikian, era reformasi dan transisi demokratis menyusul tumbangnya kekuasaan rezim Soeharto dilihat oleh masyarakat sebagai momentum untuk meminta perhatian pemerintah pusat yang lebih besar atas Riau. Tuntutan pemisahan diri sebagian kecil masyarakat Riau juga dipicu oleh pemberian kesempatan bagi Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri seperti tercermin dari tawaran dua opsi pemerintahan Habibie. Dalam perkembangan terakhir tuntutan “Riau Merdeka” pun merosot menjadi “Riau Berdaulat”.
Di sisi lain kasus Timor Timur memiliki nuansa yang sangat berbeda. Latar belakang sejarah daerah di bagian utara timur pulau Timor itu bukan hanya merupakan jajahan Portugis, melainkan juga tidak pernah secara historis menjadi bagian dari negara kolonial Hindia Belanda. Status Timor Timur sendiri sebagai bekas koloni Portugis yang tengah mengalami proses dekolonisasi belum selesai di tingkat internasional (PBB), kendati Indonesia selama 24 tahun mengklaim sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya setelah melakukan invasi militer secara besar-besaran sejak Desember 1975. Karena itu, pengaruh faktor eksternal atau internasional sangat besar dalam penyelesaian masalah Timor Timur dibandingkan ketiga daerah lainnya. Walaupun akhirnya Indonesia, Portugal, dan PBB sepakat untuk mengadakan jajak pendapat rakyat secara langsung di Timor Timur, opsi otonomi luas atau penolakan atasnya diduga tidak secara langsung bisa menyelesaikan kasus Timor Timur. Faktor ketulusan dan kejujuran pemerintah dan ABRI dipandang sebagai faktor yang menentukan bagi terwujudnya suatu penyelesaian damai yang didambakan semua pihak.

V. Saran
a. Rakyat Indonesia tampaknya tidak menginginkan terulangnya kembali lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke demokrasi, anarki politik dan kembali ke tirani lagi.
b. Mengapa pemerintah pusat justru makin menindas dan memaksakan aspirasi politik ketika eksploitasi atas kekayaan Aceh berlangsung intens. Tuntutan keadilan dijawab dengan pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM), sehingga gagasan pemisahan diri, terutama di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie, makin mendapat tempat dalam tuntutan masyarakat lokal. Pada bagian ini dicoba dilihat akar persoalan pergolakan Aceh dan cara penyelesaian yang cenderung keliru, termasuk yang dilakukan oleh pemerintah Habibie.